Anak sudah sekolah namun masih belum bisa membaca dan menulis
bukanlah pertanda anak bodoh. Janganlah dulu terlalu cepat memberikan
labelling terhadap anak, bisa jadi anak akan stres dengan label yang
kita berikan. Hal tersebut berdampak buruk bagi masa depan anak.
Sekarang ini kebanyakan guru pada khususnya menilai peserta didik hanya dari hasil prestasi nilai belajar siswa, dan menggap siswa yang memiliki hasil belajar yang rendah adalah siswa yang bodoh. Padahal setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, dimana sebagai guru harus lebih memahami kemampuan tersebut. Memberikan label bodoh ada siswa yang berkesulitan belajar bisa jadi memenggal harapan siswa dalam bermimpi.
Anak terlihat belum bisa membaca dan menulis biasanya terlihat saat duduk di sekolah dasar. Tak jarang guru maupun orang tua mengalami kebingungan. Mungkin anak tersebut mengalami kerusakan ada disfungsi minimal otak. Ini yang disebut disleksia. Pada tahun 1891 Jules Dejerine, seorang dokter ahli bedah dan patologiklinis, menyajikan data autopsi tentang individu yang mengalami luka penyempitan pembuluh otak dan belahan otak kiri, dan ia mengistilahkan ketidakmampuan / kesulitan membaca atau yang disebut disleksia. Anak yang mengalami disleksia mengalami short therm memory, apa yang diterimanya akan cepat dilupakan. Biasanya saat melihat tulisan yang dilihat, hurufnya menjadi berubah ubah seperti b menjadi d, u menjadi n, dan huruf yang memiliki kesamaan. Karena itu saat belajar anak menjadi bingung bukan karena malas belajar.
Kondisi tersebut membutuhkan cara pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak. Pembelajaran yang berbeda dengan anak pada umumnya. Namun dalam menentukan intervensi pada anak sebelumnya perlu dilihat dari hasil tes psikologinya.
Para ahli sudah banyak mengembangkan metode mengajar yang sesuai untuk anak disleksia seperti belajar menulis melalui pasir, metode glandoman yaitu dengan membuat kata yang diperbesar agar mudah dimengerti, atau bisa memakai metode multi sensori. Di sini anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan. Sehingga mempermudah otak bekerja dengan mengingat kembali huruf-huruf.
Jadi sekarang, kalau anak mengalami kesulitan dalam membaca tak perlu frustasi ataupun bingung. Karena sejatinya semua anak yang terlahir adalah anugerah yang menjadi amalan kita nanti. Saatnya membuka mindset kita, tanyakan dulu pada ahlinya jika mengalami hal tersebut dan membaca buku – buku referensi seputar metode pembelajaran bagi anak sesuai dengan kebutuhan.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Sumber : dakwatuna
Tidak ada komentar:
Write komentar