Senin, 21 September 2015

Ibadah Haji, Perjalanan Mencari Kesejatian Manusia


Allah memang Maha Penyayang. Allah memang Maha Pemberi Rahmat. Mereka yang diberi kesempatan melaksanakan ibadah haji tidak hanya dari kalangan yang mapan ekonomi, berpendidikan tinggi atau yang memiliki pengetahuan Islam luas atau yang memiliki tingkat keimanan yang kuat. Mereka yang dipanggil olehNya ke Baitullah dari semua kalangan, yang juga bisa hanya lulusan SD, petani, yang tidak bisa mengaji sama sekali atau yang perilaku sosialnya mungkin kurang beradab. Allah pasti punya maksud...
Salah satu jamaah haji dalam rombongan saya mengaku bahwa ia dapat berangkat haji karena pertolongan Nabi Khidir. Berkat amalan-amalan yang dilakukannya, Nabi Khidir kemudian memberikannya tasbih. Namun, ketika hendak berangkat, tasbih itu hilang. Mengguyoni si bapak yang berprofesi petani dan sepertinya menyambi jadi ‘orang pintar’ karena pengakuannya sering dikunjungi orang yang minta untuk kaya atau laris dagangannya, suami saya mengatakan kepada si bapak bahwa “mungkin itu jin yang mengaku Nabi Khidir. Tasbihnya jadi hilang karena jinnya takut diajak ke Mekkah”. Si bapak lugu itu hanya tertawa terkekeh-kekeh...
Ya, ragam hal yang saya amati selama hampir 2 pekan di Mekkah. Utamanya terkait perilaku orang-orang yang hilir mudik di pemondokan. Setiap hari, saya meluangkan waktu untuk turun ke lobi untuk akses internet. Selain untuk komunikasi tugas perkuliahan atau bimbingan tesis dengan mahasiswa, saya kerap mengamati kebiasaan jamaah yang berada di area lobi yang luas itu. Lazimnya mereka menggunakan area lobi untuk menerima tamu atau berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia memanfaatkan Skype/WA/Line yang berbasis Wifi. Banyak juga pasangan suami istri yang makan minum bersama. Maklum, di pemondokan, kamar suami istri terpisah. Sehingga bila mereka ingin berinteraksi, biasanya memanfaatkan lobi untuk makan bersama atau sekedar ngobrol. Yang tidak lazim diantaranya adalah...
Pernah di hadapan saya, sepasang suami istri tidur-tiduran di sofa dengan selonjor dengan pose yang pantasnya mungkin hanya dilakukan di kamar pribadi. Padahal mereka adalah jamaah haji dan sedang berada di ruang publik. Astaghfirullaahaladziim... Beberapa kali juga saya mendapati seorang bapak yang duduk dengan kaki diletakkan di atas meja dengan pose yang mungkin juga kurang pantas secara adap di tempat umum.
Untuk urusan merokok, sangat baaaaanyak sekali yang tidak merasa bersalah bila merokok di tempat ber-AC. Tidak hanya di lantai pemondokan saya yang bapak-bapaknya merokok di kamar, tetapi juga di gang-gang hotel sembari lesehan di lantai dengan minum kopi. Termasuk pula di lobi hotel. Meski areanya luas, buat saya yang memiliki asma, kepulan rokok dari depan belakang kanan dan kiri secara bersamaan dapat langsung membuat hidung saya bereaksi dan kepala seketika migrain atau terasa pening. Pada saat pertemuan kloter, saya sempat memohon kepada dokter kloter untuk menghimbau kepada bapak-bapak yang merokok untuk merokok di luar ruangan. Terlebih, rata-rata kondisi jamaah sudah mulai terserang batuk pilek. Setiap kali sholat berjamaah, selalu bersahut-sahutan suara bersin dan sroot pilek.
Untuk urusan merokok, saya memang sensitif. Pasalnya, mereka-mereka yang merokok kerap kali egois. Mereka sering merokok tidak peka tempat. Di pemondokan, saya amati, justru bapak-bapak yang merokok semau gue itu justru yang berpendidikan dan secara penampilan perlente atau memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik. Justru mereka-mereka ini yang lebih garang bila diingatkan untuk tidak merokok di tempat ber-AC.
Sejumlah cerita lucu juga saya dapati. Di kamar sebelah, ada seorang ibu yang tidak menyapa teman sekamarnya. Alasannya, kalau tidur selalu ngorok keras sekali. Padahal, kata ibu yang lain, yang tidak mau bertegur sapa itu ya bila tidur juga mengorok keras... Cerita sedikit mengharukan juga terjadi pada seorang ibu yang termasuk kategori lansia. Si ibu berusia 65 tahun ini berangkat haji sendirian. Tuturnya, suaminya memang tidak tergerak untuk naik haji. Dulu ia mendaftar diam-diam saking inginnya bisa berhaji. Pengakuannya, ia meniru film Tukang Bubur Naik Haji yang setiap kali melakukan aktifitas berdoa ‘labbaikallaahumma labbaik’. Termasuk ketika beraktifitas di dapur, mulai dari cuci piring, menanak nasi, mengulek, merajang sayur, dan lain-lain selalu dengan doa-doa tersebut yang menemani. Jelang keberangkatan, suaminya selalu marah-marah. Kalau ada tamu, suaminya malah asyik bermain orari dan tidak mau menemui tamu. Pas hari keberangkatan, suaminya hanya berkata 'budal wes'. Dan selama di Mekkah, suaminya tdk pernah SMS atau telpon menanyakan keadaan istrinya. Istrinya sedih dan selalu nangis mengingat suaminya. Ia merasa tidak berarti. Setiap kali usai sholat di Masjidil Haram, ia selalu memanjatkan doa agar diberi kesempatan kembali mengunjungi Baitullah bersama sang suami. Bila tidak mungkin untuk melakukan haji mengingat usia, semoga diizinkan untuk berumroh bersama suami.
Ya, rata-rata usia jamaah haji di rombongan saya berusia 50 tahun ke atas dengan dominasi usia mungkin di atas 60 tahun. Teman sekamar saya, dua orang berusia 65 tahun dan satu berusia 58 tahun. Satu diantaranya yang berusia 65 tahun itu selalu kencing tanpa ia menyadarinya. Beberapa hari pertama, kamar mandi sering berbau pesing. Setelah selidik penuh selidik, akhirnya saya mengetahui penyakit ibu tersebut. Saya ajak ibu itu ke klinik kesehatan sembari berupaya mencari diapers untuk orang tua untuk mengurangi dampak penyakitnya itu. Sedihnya, ketika saya mengupayakan agar ibu tersebut mendapat pengobatan, pihak kloter dari Kemenag dan dokter kloter cenderung meminta saya atau teman sekamar yang mengurusi ibu tersebut karena sejumlah alasan. Termasuk untuk membawa ibu tersebut ke Sektor untuk mendapat pengobatan dan mencarikan diapers. Padahal, kami tidak ada yang tahu apa dan di mana Sektor, harus menemui siapa, membawa surat pengantar apa, dan kalau harus mencari diapers harus di toko apa karena kami masih hitungan hari berada di Mekkah. Kesabaran dan keikhlasan memang menjadi ujian buat kami. Dan yang menambah sedih adalah... ternyata salah satu ibu di kamar saya itu sesungguhnya membawa diapers meski tidak banyak. Tujuannya membawa hanya untuk jaga-jaga ketika perjalanan di pesawat atau di bis. Padahal, dari sisi urgensi, diapers itu sangat dibutuhkan buat ibu yang sering pipis tidak sadar itu. Mengapa ibu itu tidak meminjamkan kepada ibu yang sakit tersebut sembari kami menemukan toko yang menjual diapers?
Berkumpul bersama ibu-ibu lansia memang unik. Di awal pertemuan, saya harus mengutak atik HP mereka agar mereka bisa berkomunikasi dengan menggunakan nomor Arab Saudi. Setiap beberapa hari sekali, saya juga harus mengetikkan SMS kepada anak-anak mereka di Indonesia untuk mengabari keadaan orangtua mereka. Sempat juga suami teman sekamar saya yang ‘hilang’ sejak Dhuhur hingga tengah malam. Istrinya sedih sekali dan berulang kali memaksa saya ke kantor polisi setelah berulang kali mengadu ke Pimpinan KBIH hanya mendapat respon ‘berdo’a saja Bu, insyaAllah nanti pulang sendiri atau ada yang mengantarkan pulang’. Saya juga hanya bisa menghela nafas dengan respon yang ‘menggantung’ seperti itu. Tidak mudah juga membujuk ibu tersebut agar bersabar menanti suaminya. Bu Nyai sebuah pondokan di Lumajang tersebut akhirnya tertidur dengan isak tangis karena khawatir dengan suaminya yang berusia 75 tahun yang tidak pernah menggunakan HP dan hanya bisa berbahasa Madura itu masih belum pulang. Alhamdulillah, tepat jam 12 malam, Pak Kyai akhirnya pulang diantar taksi. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak menanyakan ke mana dan bagaimana selama beliau ‘menghilang’ hampir 12 jam tanpa kejelasan tersebut...
Hal lain yang saya amati adalah narsis ketika prosesi ibadah. Sepasang suami istri yang berlatar belakang pengusaha, saya dapati berulang kali melakukan selfie ketika proses sa’i dengan menggunakan tongsis berulang kali sembari tersenyum manis. Entahlah, sa’i yang dapat dimaknai sebagai proses napak tilas mengingat sejarah Siti Hajar bersama Ismail kecil yang mencari air di Mekkah yang tandus dengan pesan agar umat manusia senantiasa berusaha dalam kehidupan dan memasrahkan hasilnya pada Allah semoga masih bersisa dalam ingatan...
Ya, saya lebih banyak mengamati dan mencoba berkontemplasi terhadap hal-hal yang terjadi pada diri saya dan orang-orang sekitar saya. Saya yang under estimate terhadap kemampuan saya untuk menjalani umroh ke-4 pada hari ke-5 di Mekkah, bahkan saya sudah merancang untuk tidak melanjutkan prosesi umroh bila tak kuat, justru ‘dikejutkan’ karena mampu menyelesaikannya dengan kondisi tubuh dan kaki yang terasa lebih sehat dan ringan daripada umroh-umroh sebelumnya. Kalau tidak karena pertolongan Allah, mana mungkin saya mampu melakukannya... Sebagaimana kata banyak orang, perjalanan ibadah haji memang akan banyak cerita. Karakter diri sesungguhnya akan muncul tanpa sadar di tempat ini. Bagi mereka yang melakukan sesuatu yang tak baik, Allah juga akan menegurnya secara langsung. Duhai Allah, jauhkan hamba dari penyakit hati. Jangan biarkan hati ini tergelincir dari perasaan yang membuat Engkau tak ridha padaku. Duhai Allah, pahamkan aku atas berbagai cerita dan pemandangan yang Engkau hadirkan untukku agar semakin tundukku kepadaMu...
Ketika merenung, saya merasa mabrurnya haji sepertinya memang hanya Allah yang tahu. Manusia sulit dan mungkin tak pantas juga untuk menilai seseorang berhaji mabrur atau tidak. Realitas menunjukkan badah haji tidak selalu berkorelasi dengan semakin baik perilaku, keimanan dan ketakwaan seseorang. Setidaknya yang juga saya amati, seseorang dalam rombongan saya yang berulang kali mengatakan bahwa dirinya sudah 24 kali naik haji, ternyata tak santun ketika berbicara dengan orang tua. Nadanya selalu keras dan cenderung membentak-bentak.
Sungguh, kesejatian manusia, setidaknya buat saya seolah terhampar pula dari pengalaman ‘gemuruh’ di Masjidil Haram. Selama 11 hari di Mekkah, setidaknya 2x terjadi ‘gemuruh’ yang membuyarkan shaf-shaf jamaah yang hendak sholat Subuh. Ya, ada yg 'aneh' di sini. Pasca kejatuhan crane yang makan korban, dua kali ketika jelang sholat Subuh itu terjadi 'kerusuhan' di Masjidil Haram. Tiba-tiba ada suara gemuruh sangaaat keras, seperti ada angin kencang atau hujan yang tiba-tiba turun deras atau suara yang seolah dapat menjatuhkan langit-langit Masjidil Haram yang intinya membuat jamaah yang hendak sholat Subuh berlarian karena takutnya. Ada yang sampai kacamatanya jatuh, dompet atau tasnya hilang, dan lain-lain. Setelah suara itu usai, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada penjelasan dari pihak Masjidil Haram terkait peristiwa tersebut. Saya sempat membatin, wah ini ada malaikat yang lewat mungkin. Ketika ngobrol dengan jamaah dari Turki dan jamaah dari Batam, ternyata mereka meyakini bahwa itu setan yang mengganggu...
Suara itu hanya sesaat. Mungkin hanya sekitar 3-5 detik. Tapi kami semua ketakutan. Semua lantai di Masjidil Haram, baik shaf laki dan perempuan, semuanya berhamburan berlarian. Termasuk saya. Tapi kemudian ada iqomat untuk sholat Subuh, saya beranikan diri menghamparkan sajadah untuk sholat. Tapi saya sholat dengan menangis ketakutan sembari berdoa “bila terjadi sesuatu ketika saya sholat, mohon menjadi syahid ya Allah”... Sungguh, naluriah dan manusiawinya manusia bila berhamburan berlarian mencari perlindungan ketika sesuatu akan menimpanya. Suara 'gemuruh' menandakan sesuatu yang akan terjadi. Tapi kami semua mungkin berprasangka tidak baik sehingga kewajiban untuk sholat terganggu... Banyak sekali interpretasi yang bisa dihadirkan untuk memaknai kisah ini...
Ya, cerita 'gemuruh' ini mungkin hanya menjadi sekedar obrolan. Karena kami semua tidak tahu suara apa itu. Setelah suara itu muncul, seperti tidak terjadi apa-apa. Kata suami saya yang shaf-nya dekat Ka'bah, setelah adanya suara tersebut, ada petugas yang memberi kode lambaian tangan kepada imam untuk melanjutkan iqomat. Makanya imam langsung memimpin sholat Subuh seperti tidak ada kejadian apa-apa. Padahal shaf-shaf sudah banyak yang kosong karena semua berhamburan berlarian... Kisah tersebut saya share kepada beberapa grup terdekat saya. Beberapa komentar membuat saya harus menarik nafas panjang... Salah satunya penjelasan dari seorang Ketua MUI di daerah saya yang juga menjadi penggiat Forum Sejahtera Indonesia-Malaysia... Juga dari seorang sahabat yang sudah lebih dahulu menjalankan ibadah haji...








Ya, kesejatian manusia mungkin akan dapat lebih diperoleh ketika wukuf. Wukuf adalah inti haji. Wukuf adalah puncak haji. Secara fisik, wukuf Arafah adalah puncak berkumpulnya seluruh jamaah, yang berjumlah jutaan, dari penjuru dunia dalam waktu bersamaan. Secara amaliah, wukuf Arafah mencerminkan puncak penyempurnaan haji. Di Arafah inilah Rasulullah menyampaikan khutbahnya yang terkenal dengan nama khutbah wada’ karena tak lama setelah menyampaikan khutbah itu beliaupun wafat. Di saat itu, melalui QS al-Ma’idah: 3, Allah SWT berfiman “...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu….”. Hari ini 7 Dzulhijjah. Esok, pukul 7 pagi saya bersama rombongan akan berangkat ke Arafah. Dan lusa, insyaAllah kami semua para jamaah haji seluruh dunia akan menjalani wukuf Arafah.
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
Pahamkan aku atas kesejatianku sebagai ciptaanMu
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
Pahamkan aku atas ayat-ayat kauliyah dan kauniyahMu agar semakin taat diri ini kepadaMu
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
Tapi, pantaskah aku menjadi haji mabrur?
Bila tidak karena rahmatMu menutupinya, maka sungguh aib dan dosa serta maksiat ini akan terbuka di hadapan manusia
Duhai Allah, Aku datang memenuhi panggilanMu Mampukan aku berkhalwat denganMu agar ketaatanku kepadaMu melampaui ketaatanku pada dunia dan seisinya
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
KSA, 7 Dhulhijjah 1436H

Dr. Khairunnisa Musari, ST, M.MT. (Pemerhati Sekolah Islam Terpadu Lumajang)

Tidak ada komentar:
Write komentar