Ilustrasi | Foto: Ajie Nugroho - Kompasianer Hobi Jepret |
Begitulah komentar petugas hotel dan general manager
hotel yang menjadi tempat pemondokan kloter saya bersama 6 kloter
lainnya dari Indonesia selama 30 hari di Mekkah. Dalam 12 hari pertama,
dua kali saya mengajukan komplain terkait jamaah haji yang merokok di
semua tempat, terutama di segala penjuru lobi yang jelas-jelas ber-AC.
Ya,
saya punya asma. Bila dikepung asap rokok dari depan belakang kanan
kiri, biasanya tak lama kemudian akan diikuti dengan pening kepala atau
migrain. Bila kondisi tidak fit, apalagi bila sedang batuk pilek atau
sedang mengalami tekanan batin, asma mudah sekali kumat. Saya selalu
siaga obat semprot karena minum obat biasanya sudah tidak mempan. Dan
bila di tempat AC mengepul asap rokok, apalagi bila bahasa tubuh si
pengebul asap rokok tersebut tidak memiliki rasa sungkan atau rasa
bersalah, apalagi bila dari pakaiannya tampak ‘berpendidikan’, rasanya
‘tanduk’ di kepala saya langsung muncul...
Saya punya kepentingan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa dan menulis artikel maupun paper sehingga setiap hari meluangkan waktu untuk turun ke lobi guna mengakses wifi di sela-sela agenda umroh dan haji. Seringkali saya berpindah-pindah sofa lantaran asap mengepul di sekitar saya yang sudah taraf mengganggu. Ketika sudah tidak bisa menahan diri, saya mendatangi resepsionis di lobi.
Komplain pertama mungkin terjadi sekitar 8 hari pertama di pemondokan. Hanya staf hotel berbaju rompi yang ada di tempat. Petugas yang bahasa Inggrisnya pas-pasan seperti saya itu semula tidak memahami keluhan saya. Saya yang tidak bisa berbahasa Arab, hanya bisa menggunakan bahasa Inggris sederhana untuk menyampaikan keluhan. Setelah menggunakan tambahan ‘bahasa Tarzan’, barulah ia paham.
“Anda kan bisa berbahasa Indonesia. Anda bisa langsung menegurnya. Kami ini susah menghadapi jamaah Indonesia. Anda tahu sendiri kan bagaimana orang Indonesia itu....”. Begitulah kira-kira bila diterjemahkan komentar staf hotel dalam bahasa Inggris kepada saya dengan telapak tangan yang dibuka seraya menunjukkan mimik wajah yang menandakan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan keluhan saya.
Selang dua hari kemudian, saya terpancing untuk mengajukan komplain lagi meski saya tahu staf hotel mungkin tidak bisa berbuat apa-apa atas keluhan saya. Tapi siapa tahu stafnya kali ini berbeda dan bisa membantu atau sedikitnya meredam kekesalan saya.
Hufhhhh... Dua petugas di meja resepsionis kali itu adalah pemuda Arab dan sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Saya komplain dengan bahasa Inggris, mereka menjawab dalam bahasa Arab yang bila diterjemahkan adalah mereka tidak paham dengan apa yang saya sampaikan. Capek deeeeh...
“Ada apa? Apa yang bisa saya bantu?” tanya seseorang bapak setengah baya berwajah Arab dengan bahasa Inggris fasih. Ia berdiri sekitar setengah meter dari saya di meja resepsionis. Pakaiannya hanya berkaos kerah. Sepertinya beliau petinggi hotel yang menjadi tempat pemondokan saya karena ia berminat dengan keluhan saya. Saya kemudian menceritakan tentang jamaah haji yang merokok di tempat ber-AC dan mereka melakukannya di mana-mana, termasuk di lobi. Saya merasa terganggu dengan asap rokok hingga berulang kali pindah sofa. Saya juga mempertanyakan mengapa pihak hotel tidak memberi peringatan kepada jamaah haji yang merokok di tempat ber-AC atau paling tidak memberi batas wilayah mana yang menjadi area bebas rokok sehingga saya bisa menegur mereka yang merokok di area tersebut.
Si bapak yang badannya tinggi besar itu merespon positif keluhan saya dan menyebut ‘good idea’ untuk menempelkan peringatan area ‘No Smoking’ di beberapa wilayah lobi sebagai area bebas asap rokok. Beliau menjanjikan akan memasang peringatan tersebut. Setelah bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, di akhir percakapan ia berkata: Anda tahu sendiri kan orang Indonesia itu bagaimana.... Mereka merokok di mana-mana. Tidak bisa diberitahu. Bila diberi tahu, mereka malah marah-marah....
Upsss, kaget sekali saya mendengar kalimat-kalimat terakhir sang bapak. Si bapak mengucapkannya dengan bahasa Indonesia yang fasih... Kalau tahu bisa bahasa Indonesia, sejak dari tadi saya pasti menggunakan bahasa Indonesia...
Ya sudahlah, saya pun pamit dengan geregetan campur miris di hati mengingat komentar si bapak yang akhirnya saya ketahui adalah general manager hotel pemondokan saya itu. Ya, geregetan dan miris karena saya terpaksa setuju dengan pendapatnya...
Sudah salah, tidak sungkan, kerap arogan, bahkan ada yang marah-marah!!! Dan..... kebanyakan yang begitu justru mereka yang dari pakaian atau pekerjaannya menunjukkan bahwa ia berpendidikan tinggi...!!!
Mekkah, 13 Dzulhijjah 1436H
Dr. Khairunnisa Musari, ST., M.MT.
(Pemerhati SIT Lumajang)
Saya punya kepentingan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa dan menulis artikel maupun paper sehingga setiap hari meluangkan waktu untuk turun ke lobi guna mengakses wifi di sela-sela agenda umroh dan haji. Seringkali saya berpindah-pindah sofa lantaran asap mengepul di sekitar saya yang sudah taraf mengganggu. Ketika sudah tidak bisa menahan diri, saya mendatangi resepsionis di lobi.
Komplain pertama mungkin terjadi sekitar 8 hari pertama di pemondokan. Hanya staf hotel berbaju rompi yang ada di tempat. Petugas yang bahasa Inggrisnya pas-pasan seperti saya itu semula tidak memahami keluhan saya. Saya yang tidak bisa berbahasa Arab, hanya bisa menggunakan bahasa Inggris sederhana untuk menyampaikan keluhan. Setelah menggunakan tambahan ‘bahasa Tarzan’, barulah ia paham.
“Anda kan bisa berbahasa Indonesia. Anda bisa langsung menegurnya. Kami ini susah menghadapi jamaah Indonesia. Anda tahu sendiri kan bagaimana orang Indonesia itu....”. Begitulah kira-kira bila diterjemahkan komentar staf hotel dalam bahasa Inggris kepada saya dengan telapak tangan yang dibuka seraya menunjukkan mimik wajah yang menandakan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan keluhan saya.
Selang dua hari kemudian, saya terpancing untuk mengajukan komplain lagi meski saya tahu staf hotel mungkin tidak bisa berbuat apa-apa atas keluhan saya. Tapi siapa tahu stafnya kali ini berbeda dan bisa membantu atau sedikitnya meredam kekesalan saya.
Hufhhhh... Dua petugas di meja resepsionis kali itu adalah pemuda Arab dan sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Saya komplain dengan bahasa Inggris, mereka menjawab dalam bahasa Arab yang bila diterjemahkan adalah mereka tidak paham dengan apa yang saya sampaikan. Capek deeeeh...
“Ada apa? Apa yang bisa saya bantu?” tanya seseorang bapak setengah baya berwajah Arab dengan bahasa Inggris fasih. Ia berdiri sekitar setengah meter dari saya di meja resepsionis. Pakaiannya hanya berkaos kerah. Sepertinya beliau petinggi hotel yang menjadi tempat pemondokan saya karena ia berminat dengan keluhan saya. Saya kemudian menceritakan tentang jamaah haji yang merokok di tempat ber-AC dan mereka melakukannya di mana-mana, termasuk di lobi. Saya merasa terganggu dengan asap rokok hingga berulang kali pindah sofa. Saya juga mempertanyakan mengapa pihak hotel tidak memberi peringatan kepada jamaah haji yang merokok di tempat ber-AC atau paling tidak memberi batas wilayah mana yang menjadi area bebas rokok sehingga saya bisa menegur mereka yang merokok di area tersebut.
Si bapak yang badannya tinggi besar itu merespon positif keluhan saya dan menyebut ‘good idea’ untuk menempelkan peringatan area ‘No Smoking’ di beberapa wilayah lobi sebagai area bebas asap rokok. Beliau menjanjikan akan memasang peringatan tersebut. Setelah bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, di akhir percakapan ia berkata: Anda tahu sendiri kan orang Indonesia itu bagaimana.... Mereka merokok di mana-mana. Tidak bisa diberitahu. Bila diberi tahu, mereka malah marah-marah....
Upsss, kaget sekali saya mendengar kalimat-kalimat terakhir sang bapak. Si bapak mengucapkannya dengan bahasa Indonesia yang fasih... Kalau tahu bisa bahasa Indonesia, sejak dari tadi saya pasti menggunakan bahasa Indonesia...
Ya sudahlah, saya pun pamit dengan geregetan campur miris di hati mengingat komentar si bapak yang akhirnya saya ketahui adalah general manager hotel pemondokan saya itu. Ya, geregetan dan miris karena saya terpaksa setuju dengan pendapatnya...
Sudah salah, tidak sungkan, kerap arogan, bahkan ada yang marah-marah!!! Dan..... kebanyakan yang begitu justru mereka yang dari pakaian atau pekerjaannya menunjukkan bahwa ia berpendidikan tinggi...!!!
Mekkah, 13 Dzulhijjah 1436H
Dr. Khairunnisa Musari, ST., M.MT.
(Pemerhati SIT Lumajang)
Tidak ada komentar:
Write komentar